Kamis, 16 April 2015

Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa

BAB I PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang
 Dalam kehidupan setiap orang tentu saja tidak terlepas dari bahasa. Pertama kali seorang anak memperoleh bahasa yang didengarkan langsung dari sang ibu sewaktu anak tersebut terlahir ke dunia ini. Kemudian seiring berjalannya waktu dan seiring pertumbuhan si anak maka ia akan memperoleh bahasa selain bahasa yang diajarkan ibunya itu baik bahasa kedua, ketiga ataupun seterusnya yang disebut dengan akuisisi bahasa (language acquisition) tergantung dengan lingkungan sosial dan tingkat kognitif yang dimiliki oleh orang tersebut melalui proses pembelajaran. Pemerolehan Bahasa merupakan sebuah hal yang sangat menajubkan terlebih dalam proses pemerolehan bahasa pertama yang dimiliki langsung oleh anak tanpa ada pembelajaran khusus mengenai bahasa tersebut kepada seorang anak (Bayi). Seorang bayi hanya akan merespon ujaran-ujaran yang sering didengarnya dari lingkungan sekitar terlebih adalah ujaran ibuya yang sangat sering didengar oleh anak tersebut. Pembelajaran bahasa, sebagai salah satu masalah kompleks manusia, selain berkenaan dengan masalah, juga berkenaan dengan masalah kegiatan berbahasa. Sedangkan kegiatan berbahasa itu bukan hanya berlangsung secara mekanistik, tetapi juga berlangsung secara mentalistik. Artinya, kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau kegiatan mental (otak), Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa, studi linguistik perlu dilengkapi dengan studi antar disiplin antara linguistik dan psikologi, yang lazim disebut psikolinguistik. Bahasan mengenai pemerolehan bahasa berkaitan erat dengan bagaimana manusia dapat mempersepsi dan kemudian memahami ujaran orang lain. Manusia hanya dapat memproduksi ujaran apabila dia memahami aturan-aturan yang harus diikuti yang dia peroleh sejak kecil. Pertanyaan mengapa pemerolehan bahasa pada umur dewasa memunculkan wujud bahasa yang berbeda dari pada pemerolehan sejak anak masih kecil berkaitan erat dengan struktur serta organisasi otak manusia. B. Rumusan Masalah 1. Apa itu pemerolehan bahasa? 2. Ada berapa teori tentang pemerolehan bahasa? 3. Bagaimana tingkat pemerolehan bahasa? 4. Apa akibat penggunaan bahasa latin dalam komunikasi lisan dan tulis? 5. Apa perbedaan pemerolehan dengan pengajaran? C. Manfaat dan Tujuan 1. Memberikan pemaparan mengenai pemerolehan bahasa. 2. Memberikan pemaparan beberapa teori tentang pemerolehan bahasa. 3. Memberikan pemaparan bagaimana perbedaan pemerolehan dengan pembelajaran. BAB II PEMBAHASAN PEMBELOREHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA A. Pemerolehan Bahasa Kata pemerolehan merupakan kata baru dalam bahasa Indonesia. Kata pemerolehan tidak sama dengan perolehan. Kata pemerolehan mengacu kepada proses, sedangkan kata perolehan mengacu kepada hasil. Jika dipadankan kata pemerolehan ini identik dengan kata bahasa inggris acquisition. Oleh sebab itu, frase pemerolehan bahasa merupakan bentuk turunan dari language acquisition. Topik tentang pemerolehan bahasa bukan merupakan topik yang menarik sebelum berkembangnya ilmu yang disebut Psikolinguistik pada abad ke-XX. Jadi, konsep tentang pemerolehan bahasa relative jauh lebih muda usianya dibandingkan dengan pembelajaran bahasa. Ada dua teori tentang pemerolehan bahasa yaitu: a. Teori aliran Behaviorisme Menyatakan bahwa perkembangan bahasa anak-anak itu melalui penambahan sedikit demi sedikit. Jadi, seolah-olah pemerolahan bahasa itu bersifat linear atau garis lurus. Makin hari makin bertambah juga sampai akhirnya lengkap seperti bahasa orang dewasa. b. Teori aliran Rasionalisme Dinyatakan bahwa perkembangan bahasa anak itu mengikuti suatu pola perkembangan tertentu. Setiap pola perkembangan bahasa itu mempunyai tata bahasa sendiri-sendiri pula, yang mungkin saja tidak sama dengan tata bahasa orang dewasa (tata bahasa yang sebenarnya). Pada setiap pola perkembangan bahasa berikutnya, tata bahasa yang tidak benar itu secara berangsur diperbaikinya menuju tata bahasa yang benar. Sebagai contoh bahwa tat bahasa anak itu berbeda dengan tata bahasa orang dewasa, sebagaimana penelitian Braine, seperti yang dikutip oleh David Ingram (1989) yaitu: Child : “want other one spoon, Daddy.” Father : “you mean, you want THE OTHER SPOON.” Child : “yes, I want other the spoon, please, Daddy.” Father : “can you say “the oder spoon”? Child : “other… other.. spoon” Father : “say... “other.” Child : “other.” Father : “spoon.” Child : “spoon.” Father : “other… spoon.” Child : “other… spoon. Now give me the other one spoon.” Untuk melacak proses pemerolehan bahasa, dalam bab ini dideskripsikan pola-pola atau tingkat-tingkat perkembangan bahasa anak itu, yang biasa disebut dengan tingkat pemerolehan bahasa. Tingkat pemerolehan bahasa ini merupakan gabungan dari pendapat Mangantar Simanjuntak dan Soenjono Dardjowidjojo, seperti dibawah ini: 1. Tingkat Membabel (0;0-1;0) Istilah tingkat membabel ini berasal dari bahasa inggris babbling. Ada yang menerjemahkan dengan menggagah, dan ada pula menyebutkan dengan berleter. Pada prinsipnya masa membabel dibagi atas dua, yakni (a) cooing atau mendekut dan kedua, babbling atau membabel. Masa mendekut yang berlangsung dari umur 0;0 sampai dengan umur 0;6, anak membunyikan bunyi-buyi bahasa sedunia. Bunyi bahasa apa pun di seluruh dunia dibunyikan oleh bayi yang berumur kurang dari enam bulan ini. Tetapi pada akhirnya, oleh karena anak tidak mendengar bunyi-bunyi bahasa selain dari bahasa ibunya sendiri, maka ia pun hanya akan membunyikan bahasa ibunya saja. Masa kedua yang disebut masa membabel itu, ialah pada usia 0:6 sampai dengan 1:0 pada saat ini anak mengarah untuk mengucapkan pola suku kata KV (konsonan dan vokal). Suatau hal yang menarik dari masa membabel (cooing dan babbling) ini ialah bahwa anak yang pekak pun ternyata ikut membunyikan bunyi-bunyi bahasa seluruh dunia itu, dan ikut juga mengucapkan pola suku kata KV tersebut. Namun, setelah masuk pada tahap berikutnya pada usia 1:0, maka anak pekak itu secara berangsur-angsur akan berhenti bersuara. 2. Masa Holofrase (1;0 - 2:0) Masa holofrase yang berlangsung antara umur 1;0 sampai dengan 2;0. Pada masa ini, anak-anak mengucapkan satu kat dengan maksud sebenarnya menyampaikan sebuah kalimat. Kalau seorang anak menyebutkan [cucu ] misalnya yang berarti susu, maka maksud anak tersebut mungkin untuk menyampaikan sebuah kalimat “saya ingin minum susu”. Atau mungkin juga kalimat lain (tergantung pada konteks). Perlu juga dicatat di sini, walaupun dikatakan bahwa masa holofrase anak mengucapkan sebuah kata, namun tidaklah berarti bahwa kata-kata yang diucapkan oleh anak itu sudah lengkap. Mungkin saja kata-kata anak itu tidak lengkap seperti ucapan orang dewasa. Bambang Kaswanti Purwo menyebutkan bahwa dapat saja terjadi dalam membabel itu anak mengucapkan kata-kata (mirip kata-kata yang tidak mempunya makna. Misalnya, anak -anak mengucapkan kata kongkong yang artinya kodok. Kata kongkong ini jelas tidak ada (mungkin dalam bahasa mana pun), namun anak mencoba menggunakan anamatophea atau kata tiruan bunyi karena kodok mengeluarkan bunyi kongkong dalam pendapatnya. 3. Masa Ucapan Dua kata (2;0 – 2;6) Pada masa ini anak sudah mulai mengucapkan dua buah kata. Pada awalnya ucapan dengan dua buah kata ini mungkin saja gabungan dari dua buah holofrase seperti [ma] dan [cucu] yang berarti “mama sedang membuatkan susu buat saya”. Akhirnya barulah mengucapkan dua buah kata yang sebenarnya seperti [judi] untuk “itu, baju kepunyaan adik.” 4. Masa Permulaan Tata Bahasa (2;6 – 3;0) Pada Masa Permulaan Tata Bahasa anak mulai menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang lebih rumit, seperti penggunaan afiksasi. Kalimat-kalimat yang diucapkan pada umumnya adalah kalimat-kalimat yang hanya berisi kata inti saja dan tidak terdapat kata tugas. Jadi, kalimat kalimat yang mirip dengan kalimat telegram, dan oleh karena itu bisa juga dinamakan telegraphic sentence (kalimat telegram). Misalnya kalimat [pa i ntue] yang berarti “papa pergi ke kantor”. Kata tugas ketidak diucapkan oleh anak. Begitu juga kalau ada kata-kata tugas yang lain umumnya dihilangkan, seperti halnya orang dewasa membuat kalimat dalam telegram. 5. Masa Menjelang Tata Bahasa Dewasa (3;0 – 4;0) Pada masa ini sudah mampu menghasilkan kalimat-kalimat yang rumit. Rumit dalam pengertian telah menggunakan afiks secara lengkap dan juga mempunyai subjek, predikat dan objek bahkan keterangan (kalau diperlukan). 6. Masa Kecakapan Penuh (4;0 – 5;0) Pada masa ini anak-anak yang normal telah mempunyai kemampuan berbicarara sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dalam bahasa ibunya. Ia telah mempunya kemampuan untuk memahami (refresif) dan melahirkan (ekspresif) apa-apa yang disampaikan orang lainkepadanya, atau apa-apa yang ingin disampaikannya kepada orang lain dengan baik. Masa holofrase itu antara umur 1;0 – 2;0 misalnya, tidaklah berarti bahwa seluruh bayi akan persis berada pada masa holofrase pada usia demikian itu. Usia yang dicantum disini merupakan usia rata-rata saja. Lebih cepat atau lebih lambat kira-kira dalam waktu enam bulan masih dapat dianggap normal. Bahkan, kabarnya Albert Einstein masih berada pada masa holofrase pada usia 3:0. Dan hal ini membuktikan bahwa tidak ada korelasi antara pemerolehan bahasa dengan kecerdasan anak.anak yang dicurigai memiliki keterlambatan dalam pemerolehan bahasa mungkin saja memiliki kecerdasan yang lebih dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami keterlambatan dalam proses pemerolehan bahasa. Tabel 1. Perbandingan Tingkat Gerakan Motoris dengan Perkembangan Bahasa Anak Umur Gerakan Motoris Perkembangan Bahasa 0;3 Dapat mengangkat kepala Membabel 0;6 Duduk dengan bantuan (misalnya bantal) Perkembangan Bahasa 0;9 Duduk tanpa bantuan dan merangkak. Mencoba berdiri dengan berpegangan tetapi masih jatuh Membabel dengan intonasi seperti bahasa 1;0 Mulai berdiri dan sudah berjalan kalau tangannya dipegang Mulai dengan holofrase 1:3 Berjalan terhuyung-huyung, naik tangga dengan merangkak Perluasan makna Penyempitan makna 1:6 Berjalan secara normal, turun tangga dengan merangkak Mengucapkan dua buah holofrase 1:9 Berjalan cepat dan mencoba berlari Mulai dengan kalimat dua kata 2:0 Berlari sudah normal serta naik-turun tangga dengan dua kakinya ke tanah Mengucapkan kalimat dengan tiga kata 2:6 Mulai naik sepeda roda tiga dengan menolakkan kedua kakinya ke tanah Mengucapkan kalimat dengan empat kata 3;0 Sudah pandai menaiki sepeda roda tiga dan naik tangga sudah normal 3;6 Mulai melompat Sistem konsonan sudah dikuasai, kecuali bunyi gesekan dan gugus konsonan 4;0 Turun tangga sudah normal Penguasaan sintaksis sudah cukup baik 5;0 Naik tangga dengan berlari dan dapat melompat dengan baik Mulai mengucapkan bunyi gesekan dan gugus konsonan B. Pembelajaran Bahasa Pandangan para pakar dan praktisi bahasa serta pengajaran bahasa Indonesia terhadap pemaknaan kata pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi tiga. Kelompok pertama berpandangan bahwa kata pembelajaran merupakan kata bentukan (kompleks) yang berasal dari kata atau bentuk ajar yang identik dengan kata latih. Oleh sebab itu, kelompok ini juga berpandangan bahwa makna kata pembelajaran itu identik dengan pelatihan. Kelompok kedua berpandangan bahwa kata pembelajaran merupakan kata kompleks atau bentukan yang berasal dari kata belajar. Kelompok ini berpandangan bahwa pembelajaran adalah proses dan perlakuan yang mengakibatkan seseorang atau sekelompok orang terlibat dalam aktipitas belajar. Kelompok ketiga tidak mempermasalahkan proses pembentukan kata pembelajaran melainkan mengajukan pandangan bahwa kata pembelajaran merupakan bentuk serapan dari kata bahasa inggris learning karena sebelumnya sudah dikenal kata atau bentuk teaching. Berdasarkan asumsi ini, kelompok ketiga ini mengajukan bukti bahwa jika dipadankan antara kata bahasa inggris dan kata bahasa Indonesia akan ditemukan kata atau bentuk : a). learn (inggris) = belajar (Indonesia) b). learner (inggris) = pembelajar (Indonesia) c). learning (inggris) = pembelajaran (Indonesia) Menurut hemat penulis, kata pembelajaran tidak dapat diidentikkan dengan kata pengajaran. Sebab, dari proses pembentukan kata sebenarnya dapat dilacak makna kedua kata tersebut, kata pengajaran mengacu kepada suatu proses yang lebih mementingkan aspek mengajar yang di lakukan oleh pengajar (guru) sedangkan kata pembelajaran mengacu kepada suatu proses yang lebih mementingkan aspek belajar yang dilakukan oleh pembelajar (siswa). Dengan demikian, pembelajaran bahasa dapat dimaknai sebagai suatu proses yang mengakibatkan pembelajaran (siswa) terlibat dalam aktivitas mempelajari (suatu) bahasa. Joshua Fsihman (dalam Spolsky,1998:3) menyatakan bahwa inti pembelajaran bahasa adalah suatu usaha menjawab “who learns how mach of what language under what conditions!” (siapa yang belajar, seberapa banyak, apa jenis bahasanya, dan dalam kondisi bagaimana). Pernyataan yang sangat sederhana namun memiliki makna yang dalam. Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan antar siswa mencakup perbedaan dalam hal umur, keterampilan inteligensi, kemampuan khusus (misalnya berkaitan dengan indra pendengaran), sikap-sikap yang khas, minat (terhadap bahasa yang dipelajari, belajar), motivas, kemampuan memilih strategi belajar, serta faktor kepribadian lainnya. Pernyataan tentang belajar (learns) mengacu kepada pemahaman tentang proses belajar. Jika diperluas, pernyataan itu mengundang banyak pertanyaan, misalnya ada berpa jenis (cara) belajar yang sebenarnya, bagaimana pemerogramanny, adalah perbedaan antar proses sadar, ambang sadar, dan dibawah sadar dalam proses tersebut, adakah perbedaan antara mengetahui (knowing) dan mampu (be able to), serta bagaimana variasi pembelajaran yang disebabkan oleh keragaman individu serta kultural. Pernyataan tentang seberapa banyak (how much of) pun tidak sederhana rumusan pernyataan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat dikembangkan berdasarkan pernyataan how much of adalah apa criteria yang dapat digunakan bahwa seseorang telah mempelajari sesuatau, hal-hal apa yang terdapat dalam suatu bahasa yang harus dipelajari, bagaimana seseorang mempelajari bagian-bagian tersebut, serta bagaimana mengukur tingkat kecakapan tentang hal-hal yang telah dipelajari. T.S. Eliot, dalam puisinya yang berjudul Burnt Norton, mengemukakan bahwa, “waktu sekarang dan waktu yang lampau, kedua-duanya mungkin hadir pada waktu mendatang, dan waktu mendatang terangkum dalam waktu lampau”. (asworth, 1985:129). Pengantar ini digunakan asworth untuk menguraikan pentingnya mempelajari sejarah perkembangan metode pembelajaran bahasa yaitu setidak-tidaknya agar seseorang mampu memperkirakan dengan cepat keadaannya pengajaran bahasa masa mendatang. Perkiraan yang cermat bagi seseorang yang menekuni bidang pembeljaran bahasa, akan membuat orang tersebut bijaksana dalam menentukan metode apa yang terbaik untuk membelajarkan bahasa kepada siswa-siswanya. Perkiraan yang cermat, menurut asworth,dilandasi oleh tiga hal, yaitu: 1) Pemahaman terhadap sejarah pembelajaran bahasa 2) Sejarah perkembangan program-program pembelajaran bahasa lokal (di Negara-negara tertentu) 3) Pemahaman terhadap sejarah local dan peristiwa-peristiwadunia yang mempengaruhi sosok pembelajaran bahasa. Di samping mampu memperkirakan secara cermat keadaan pengajaran bahasa pada masa mendatang, mempelajari sejarah pembelajaraan bahasa juga akan membuat seseorang memperoleh tiga keuntungan. Keuntungan tersebut yaitu: a) Memahami tentang metode-metode pembelajaran bahasa b) Memahami bagaimana menerapkan metode-metode pembelajaran c) Memahami tujuan penerapan metode-metode tersebut Termasuk didalamnya kelemahan dan kekurangan setiap metode (diadaptasi dari Brown,1980:7). Dari sudut pandang lain, Ricards dan Rodgers mengemukakan bahwa pemahaman seseorang terhadap sejarah pengajaran bahasa akan mengembangkan pemahaman bagaimanalatar belakang setiap metode hingga mampu mengadakan penganalisisan terhadap metode-metode tersebut. Melalui sudut pandang kesejarahan, seseorang juga akan mampu melihat hal-hal yang mendesak untuk diperhatikan dalam pengajaran bahasa. Perubahan-perubahan dalam metode pengajaran bahasa dari segi kesejarahan, menggambarkan pemekiran-pemikiran kembali kebutuhan-kebutuhan apa yang sesungguhnya diperlukan siswa dalam mempelajari suatu bahasa. Analisis kebutuhan siswa juga akan mengakibatkan perubahan teori, yaitu teori kebahsaan dan teori pembelajaran. Menurut Kelly dan Howatt (Ricards dan Rodgers, 1986:1) kebanyakan isyu terbaru tentang teori kebahasaan dan pembelajaran bahasa sebenarnya tidak sama sekali baru. Oleh sebab itu, manfaat sesungguhnya mempelajari teori-teori kebahasaan adalah untuk memperoleh pemahaman-pemahaman menyeluruh tentang bagaimana keterkaitan antara satu teori dengan teori lainnya, serta apa yang menjadi fokus utama masing-masing teori. Pemahaman tentang kedua hal tersebutsangat mendukung terhadap pemahaman tentang metode pembelajaran bahasa. Menurut Ur (1982:25) pemahaman seseorang terhadap aspek metedologi pembelajaran bahasa juga akan mempengaruhi pemahamannya terhadap tiga hal, yaitu: 1) Pemahaman terhadap siswa (pembelajar bahasa) 2) Pemahaman terhadap aspek-aspek pengajaran (aspek instruksional) 3) Pemahamanya terhadap aspek-aspek sosiokultural. Secara historis, diketahui bahwa merumuskan metode pembelajaran bahasa telah ditempuh pada abad ke-XIV. Pada masa itu, bahasa latin merupakan bahasa yang paling banyak dipakai dalam bidang-bidang pendidikan, komersial, keagamaan, dan pemerintahan di Negara-negara barat. Menjelang abad ke-XVI, ketika Negara Prancis, Italia, dan Inggris menempati kedudukan penting sebagai akibat petubahan politikdi Eropa, penggunaan bahasa Latin mulai menurun, baik dalam komunikasi lisan maupun tulis. Ketika kedudukan bahsa latin mulai menurun, kedudukan pembelajran bahasa ini dalam kurikulum pendidikna formal pun mulai menurun.pembelajaran bahsa latin merupakan pelengkap, bukan lagi merupakan materi pokok seperti pada waktu sebelumnya. Walaupun begitu, model-model metode pembelajaran bahasa Latin ini masih tetap merupakan acuan bagi pengembangan metode pembelajran bahasa non-Latin. Analisis gramatikal dan retorik bahasa latin menjadi model pembelajaran bahasa asing sejak abad ke-XV hingga XVII. Siswa-siswa yang mempelajari bahasa asing di lembaga-lembaga pendidikan formal di Perancis, inggris, serta Negara lain di Eropa, akan diberi serangkaian latihan tentang penggunaan kaidah atau tata bahasa Latin. Model pembelajaran bahasa yang berlaku adalah pemberian atau penanaman kaidah-kaidah ketatabahasaan, penafsiran, penerjemahan, dan pembuatan kalimat-kalimat berdasarkan kaidaha-kaidah yang telah dihafalnya. Guru kadang-kadang juga memberikan teks-teks paralel, satu teks berbahasa Latin, sedangkan teks lain berbahasa asing yang sedang dipelajari siswa tersebut. Model pembelajaran bahasa Latin hingga menjelang abad ke-XVI, sering menimbulkan kecemasan dan ketakutan terhadap siswa. Hal itu disebabkan oleh ketatnya guru dalam mempedomani kaidah ketatabahasaan. Siswa-siswa yang menggunakan kaidah ketatabahasaan secara salah, mungkin karena terlupa, akan diberi hukuman yang mengerikan. Pada saat itu, memang sudah ada serangkaian usaha pakar pemelajaran bahasa untuk mengembangkan alternatif lain dalam pengembangan metode pembelajaran bahasa Latin. Akan tetapi, usaha-usaha tersebut, seperti yang dilakukan oleh Comenius dan Jhon locke pada awal abad XVII, tidak mengubah pola pemblajaran bahasa Latin. Hal ini disebabkan oleh adanya keyakinan yang berkembang pada masa itu bahwa bahasa Latin merupakan bahasa klasik serta merupakan bentuk bahasa yang ideal. Menurutnya penggunaan bahasa latin dalam komunikasi lisan dan tulis juga mengakibatkan berkembangnya pembenaran (justifikasi) bahwa bahasa Latin merupakan alat ideal untuk mengembangkan kemampuan mental serta intelektual siswa. Oleh sebab itu, timbul keadaan yang kontradiktif penggunaan bahasa Latin sebagai alat komunikasi semakin menurun, namun pembelajaran bahasa Latin justru memasuki kurikulum sekolah-sekolah di Eropa pada abad XVII. Pembelajaran bahasa Latin dipandang sebagai ciri pendidikan moder. Buku-buku pembelajaran bahasa Latin berisi uraian-uraian abstrak tentang kaidah-kaidah ketata bahasaan, daftar kosakata, dan kalimat-kalimat yang dimaksudkan sebagai bahan latihan penerjemahan. Pengembangan kemampuan berbicara siswa dalam bahasa asing, bahasa target, bukanlah merupakan tujuan utama kemampuan oral yang dibina terbatas pada membaca oral teks-teks dibelajarkan dan kalimat-kalimat yang digunakan sebagai latihan bahan penerjemahan kalimat-kalimat juga ditampilkan untuk mengilustrasikan sistematika gramatika bahasa target. Hingga awal abad ke-XIX, pendekatan yang didasari oleh pembelajaran bahasa Latin ini menjadi acuan standar bagi pembelajaran bahasa asing di sekolah-sekolah. Buku-buku teks yang cenderung seragam pada pertengahan abad XIX merupakan bukti keadaan tersebut. Buku-buku teks berisi butir-butir ketatabahasaan. Setiap aspek ketatabahasaan dikembangkan dalam bentuk daftar kaidah, dibuatkan kaidah penggunaannya, dan akhirnya ditambah dengan ilustrasi penggunaan kaidah tersebut dalam bentuk kalimat. Kalimat-kalianat yang ditampilkan pun tidak menggambarkan suatu teks atau wacana, melainkan merupakan penggelan-penggelan lepas. Contoh penulisan buku teks yang menggambarkan keadaan di atas, menurut Titone (dalam Richard dan Rodgers, 1986:3) adalah buku-buku teks yang ditulis oleh Seidenstucker dan Plotz. Seidenstucker dan Plotz bahkan dikatakan sebagai printis jalan baru dalam penulisan buku-buku teks bagi kepentingan pembelajaran bahasa asing. Kedua tokoh ini membagi teks dalam dua bagian. Teks pertama menyajikan kaidah-kaidah keterbatasan dan paradigm-paradigmanya yang sesuai, sedangkan teks kedua menyajikan kalimat-kalimat yang digunakan sebagai bahan latihan penerjemahan. Kaliamt-kalimat tersebut sitampilkan dalam bahasa Prancis, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman atau sebaliknya. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar siswa-siswa mampu mengaplikasikan kaidah-kaidah ketatabahasaan baik ketatabahasaan bahasa pertama maupun bahasa target, melalui penerjemahan. Bentuk-bentuk latihan tersebut pada akhirnya dikembangkan menjadi sebuah metode yang dikenal dengan Metode Tata abahasa-Terjemahan. C. Perbedaan antara Pembelajaran Bahasa dan Pemerolehan Bahasa Perbedaan antara pembelajaran bahasa dan pemerolehan bahasa dirumuskan ada enam yaitu: 1. Pemelajaran bahasa merupakan proses artificial atau proses yang dibuat, sebaliknya pemerolehan bahasa merupakan proses alamiah. Proses artifisial dalam pembelajaran bahsa dapat dilihat dari adanya (a) institusi atau lembaga, misalnya lembaga kependidikan, (b) kurikulum, (c) materi pembeljaran, (d) guru/pengajar, (e) siswa/pembelajar, (f) unsure saran serta prasarana pembelajaran. Pemerolehan bahasa merupakan proses yang alamiah, tidak ada lembaga formal, kurikulum, guru,siswa, dan sebgainya. 2. Sebagai proses artificial, maka pembelajaran bahasa berlangsung dalam latar yang bersifat formal dan mungkin nonformal.sebaliknya, sebagai proses alamiah, pemerolehan bahasa berlangsung dalam latarinformal, misalnya dalam linkungan keluarga. 3. Pembelajaran bahasa merupakan proses atau usaha yang disadari. Sedangkan pemerolehan bahasa merupakan proses atau usaha yang tidak disadari. Sebagai proses atau usaha yang disadari, dalam pembelajaran bahasa dilaksanakan proses pembelajaran, misalnya dalam ruangan kelas. Sebaliknya, pemerolehan bahasa merupakan proses yang tidak disadari, tidak memerlukan kelas, tidak memerlukan rumusan tujuan, serta berlangsung apa adanya. 4. Pembelajaran bahasa dilaksanakan dalam tata urut yang sistematis, sedangkan tata urut dalam pemerolehan bahasa bersifat universal. Dalam pembelajaran bahasa, tidak terdapat tata urut yang seragam, tergantung pada kebijakan institusional. Di pihak lain, pemerolehan bahasa berlangsung secara seragam, misalnya diawali dengan pemerolehan kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Urut-urutan ini tidak mungkin diubah. Pemerolehan suatau keterampilan bersifat gradual; menyimak – berbicara, membaca, menulis. 5. Pembelajaran bahasa dikaitkan dengan usaha sadar menguasai bahasa kedua atau bahasa asing, sedangkan pemerolehan bahasa dikaitkan dengan usaha yang tidak disadari untuk menguasai bahasa pertama atau bahasa ibu. Seorang anak yang hidup dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat minang kabau dan kebetulan komunikasi dalam keluarga anak itu menggunakan bahasa minang kabau, sevara tidak sadar akan menguasai bahasa minang kabau, baik bahasa itu merupakan bahasa ibu maupun bukan bahsa ibu si anak tadi. Sebaiknya untuk menguasai bahasa inggris, misalnya, anak tadi harus melibatkan diri dalam pembelajaran bahasa inggris, baik melalui lembaga pendidikan formal maupun nonformal. 6. Penguasaan bahasa yang disebabkan oleh pembelajaran bahasa bersifat gramatis, sedangkan penguasaan bahasa yang disebabkan oleh pemerolehan bahasa bersifat tak-gramatis. Melalui pembeljaran bahasa inggris, misalnya, anak akan berusaha memahami dan menggunakan tata bahasa inggris tersebut, misalnya berkaitan dengan tenses perubahan verb, penggunaan pronomina dan sebagainya. Sebaliknya seorang anak yang menguasai bahasa minangkabau cenderung tidak mengetahui, misalnya bagaimana aturan sintaksis bahasa minang kabau, bagaimana proses morfologis bahasa minangkabau, dan sebagainya. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kata pemerolehan merupakan kata baru dalam bahasa Indonesia. Kata pemerolehan tidak sama dengan perolehan. Kata pemerolehan mengacu kepada proses, sedangkan kata perolehan mengacu kepada hasil. Tingkat pemerolehan bahasa merupakan gabungan dari pendapat Mangantar Simanjuntak dan Soenjono Dardjowidjojo, seperti Tingkat Membabel (0;0-1;0), Masa Holofrase (1;0-2;0), Masa Ucapan Duo Kata (2;0-2;6) Masa PermulaanTata Bahasa (2;6-3;0), Masa Menjelang Tata Bahasa Dewasa (3;0-4;0), dan Masa kecakapan Penuh (4;0-5;0). Pandangan para pakar dan praktisi bahasa serta pengajaran bahasa Indonesia terhadap pemaknaan kata pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi tiga. Berdasarkan asumsi ini, kelompok ketiga ini mengajukan bukti bahwa jika dipadankan antara kata bahasa inggris dan kata bahasa Indonesia akan ditemukan kata atau bentuk :a). learn (inggris) = belajar (Indonesia) b). learner (inggris) = pembelajar (Indonesia) c). learning (inggris) = pembelajaran (Indonesia). Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan antar siswa mencakup perbedaan dalam hal umur, keterampilan inteligensi, kemampuan khusus (misalnya berkaitan dengan indra pendengaran), sikap-sikap yang khas, minat (terhadap bahasa yang dipelajari, belajar), motivas, kemampuan memilih strategi belajar, serta faktor kepribadian lainnya. B. Saran Pembaca yang budiman, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan yang penulis miliki, baik dari segi tulisan maupun bahasa yang penulis sajikan, oleh karena itu penulis berpesan kepada pembaca, ambilah sesuatu yang positif dari sebuah coretan yang penulis buat, dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis mapun pembaca. Dan menjadi wawasan kita dalam memahami bahasa kita sendiri dan sebagai kata, marilah terus berusaha untuk menggapai sebuah cita-cita yang luhur. Kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca. DAFTAR RUJUKAN Asworth, Mary. 1985. Beyond Methodologi: Second Languange Teaching and the Community. Cambridge: Cambridge University Perss. Brown, Douglas H. 1980. Principles of Languange Learning and Teaching. London: Prentice-Hall International, Inc. Dardjowjojo, Soenjono. 1991. PELLBA 4: Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya Keempat, Yogyakarta: Kanisius.

Penggolongan Sastra Nusantara



PENGGOLONGAN SASTRA NUSANTARA
CERITA BINATANG DAN PELIPUR LARA

8.1. Pendahuluan
Pada bab ini  akan dibahas tentang  sastra nusantara dan penggolongannya, sehingga mahasiswa bisa mengetahui bentuk-bentuk sastra nusantara berdasarkan pengaruh. Pada bab ini akan dibahas tentang cerita binatang dan pelipur lara yang berkembang di Indonesia. Hal ini akan membuat mahasiswa mengetahui tentang cerita binatang dan pelipur lara yang ada di Indonesia, dan kemudian mahasiswa bisa menjadikan bahan untuk penelitian lapangan.
Bab ini perlu dipahami mengingat bahwa mahasiswa memerlukan pemahaman awal tentang hakikat sastra nusantara dan penggolongannya, serta bentuk-bentuk cerita binatang dan pelipur lara yang berkembang di Indonesia.
Tujuan yang hendak dicapai dalam bab delapan ini akan dikemukakan berikut ini. Pertama, siswa mampu menjelaskan hakikat sastra nusantara dan penggolongannya. Kedua, mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk sastra nusantara berdasarkan pengaruh. serta ketiga, mahasiswa mampu menjelaskan tentang cerita binatang dan pelipur lara yang ada di Indonesia.

8.2. Materi
8.2.1.      Penggolongan Sastra Nusantara
Sastra melayu klasik tidak dapat digolongkan berdasarkan jangka waktu tertentu (periode) karena hasil karya sastra melayu klasik itu tidak mencantumkan waktu penciptaan dan siapa penciptanya. Penggolongan yang biasa, berdasarkan bentuk, berdasarkan isi cerita, dan berdasarkan pengaruh asing (Djamaris, 1993 : 11-19).
1.        Penggolongan berdasarkan bentuk.
Dalam penggolongan ini karya sastra melayu klasik digolongkan dalam dua golongan, yaitu: prosa : yang termasuk prosa lama banyak jumlahnya, prosa melayu klasik ini umumnya banyak disebut hikayat, karena pada umumnya judul prosa melayu klasik ini dimulai dengan “hikayat ini..” dan puisi : yang termasuk puisi lama yaitu mantra, peribahasa, pantun, syair, gurindam, talibun dan lain-lain.


2.      Penggolongan berdasarkan isi.
a.       Hasil sastra berisi undang-undang, yang dimaksud dengan undang-undang disini bukanlah undang-undang yang dalam bahasa Inggris disebut “law”, melainkan adat kebiasaan atau adat istiadat, yang dipakai sejak dahulu secara turun-temurun yang disebut customary law. Adat istiadat itu disajikan dalam bentuk cerita, serta diselangi dengan pantun petatah-petitih, peribahasa dan sebagainya. Dengan membaca hasil karya sastra yang berisi undang-undang ini kita dapat mengetahui latar belakang cara berfiikir dan falsafah hidup masyarakat pada masa dahulu serta adat-istiadatnya, adat raja-raja, adat yang dilakukan dalam upacara tertentu. Misalnya undang-undang malaka, undang-undang minangkabau dan lainnya.
b.    Hasil sastra berisi sejarah, diantaranya yaitu hikayat aceh, hikayat raja-raja pasai, sejarah melayu, hikayat banjar, tambo minangkabau, hikayat patani, hikayat merong mahawangsa.
c.     Hasil sastra berisi petunjuk bagi raja. Hasil sastra yang berisi petunjuk bagi raja atau pengusaha dalam menjalani pemerintahan, yaitu tajussalatin dan bustanussalatin. Tajussalatin berarti mahkota segala raja-raja yang ditulis oleh Bukhari Al-Johari di Aceh pada tahun 1603. Tajussalatin merupakan hasil karya sastra lama yang memberikan pelajaran tentang kewajiban-kewajiban moral yang harus dilakukan oleh raja-raja, mentri, hulu balang, bendahara, penulis, pembawa berita, para duta, dan para pejabat kerajaan lainnya terhadap rakyat dan kepada Allah; demikian juga sebaliknya, bagai mana seharusnya kewajiban dilaksanakan oleh rakyat kepada tuhan dan negaranya. Demikian pula Bustanussalatin yang berarti taman segala raja-raja yang ditulis oleh Nuruddin Ar-Raniri.

3.        Penggolongan berdasarkan pengaruh asing.
Terdapat beberapa penggolongan, diantaranya:
a.       Sastra melayu asli
Sastra melayu asli atau secara tradisional ialah suatu golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun temurun, dan satu generasi kepada generasi berikutnya, istilah lain yang  biasa biasa digunakan untuk menyebut golongan karya sastra ini ialah cerita rakyat. Disebut cerita rakyat atau folklor karena cerita ini hidup dikalangan rakyat. Cerita rakyat itu biasanya disampaikan secara lisan oleh orang yang hafal ceritanya.
Secara tradisional certa rakyat ini juga merupakan objek penelitian folklor, tujuan peneliti meneliti cerita rakyat adalah untuk mengetahui kebudayaan suatu bangsa sebelum adanya pengaruh asing, seperti kepercayaan, pandangan hidup, adat istiadat, dan cara berfikir masyarakat tersebut. Seperti mantra, peribahasa, pantun, teka-teki, cerita binatang, cerita asal-usul, cerita jenaka dan cerita pelipur lara.
b.      Sastra pengaruh hindu.
Pengaruh Hindu merupakan pengaruh asing petama dan lama di Nusantara ini. Bukti tertulis berupa piagam dapat ditemukan sekitar abad kelima, diantaranya piagam raja Mulawarman di Kutai, Kalimantan Timur; dan piagam raja Purnawarman. Di Jawa Barat, sebagai bukti sudah berakarnya pengaruh Hindu di Nusantara. Hasil sastra Hindu yang terkenal, seperti Ramayana, Mahabrata, dan Pancatantra, yang dalam sastra melayu dikenal dengan judul Hikayat Sri Rama, Hikayat Pandawa Lima.

8.2.2.      Cerita Binatang
Cerita binatang termasuk salah satu cerita yang digemari oleh rakyat. Yang dimaksud cerita binatang disini bukanlah cerita binatang dalam pengertian animal tale atau animal folktale, tetapi cerita binatang dalam artian fable.
Animal folktale dapat dibedakan dalam tiga tipe (Djamaris, 1993 : 39-47):
a.         Etiological tale.
Etiological tale adalah cerita tentang asal-usul terjadinya binatang, berdasarkan kepada bentuk atau rupanya sekarang ini. Misalnya apa sebabnya harimau mempunyai bulu belang atau loreng.
b.        Fable.
Fable adalah cerita bintang yang mengandung pesan moral. Binatang diceritakan mempunyai akal, tingkah laku, dan juga bicara seperti manusia. Misalnya cerita kancil.
c.         Beast epic.
Beast epic merupakan siklus cerita binatang dengan seekor pelaku utamanya. Misalnya di Indonesia terkenal kisah kancil, di Eropa cerita tentang rubah, di Kamboja terkenal cerita tentang kelinci, dan di Jawa Barat terkenal cerita tentang kera.
Di Indonesia cerita kancil dapat digolongkan dalam tipe fable dan beast epic, karena dalam cerita itu terkandung moral, sedangkan pelaku utamanya tetap sang kancil itu.
Cerita binatang itu dapat dikatakan suatau cerita yang bersifat universal. Dalam cerita itu binatang dilengkapi dengan perasaan dan akal seperti manusia. Hal ini tak lain ditujukan sebagai suatu cerita yang memberikan sindiran atau kiasan terhadap prilaku manusia itu sendiri.
Dalam cerita binatang pengarang tidak perlu khawatir terhadap perasaan orang lain yang merasa tersinggung terhadap kebodohan dan kepandiran pelaku yang diceritakan, karna yang diceritakan itu adalah sifat-sifat binatang itu sendiri., walaupun cerita itu dimaksudkan sebagai sindiran untuk memberi pendidikan kepada orang yang berlaku bodoh.

8.2.3.      Cerita pelipur lara
Kesusatraan lama ada salah satu jenis sastra yang disebut dengan istilah cerita pelipur lara (Djamaris, 1993 : 54). Dalam cerita pelipur lara ini biasanya yang diceritakan ialah hal-hal yang indah-indah dengan tujuan menghibur pendengarnya. Biasanya cerita itu disampaikan dari mulut ke mulut, dihafalkan oleh tukang ceritanya atau oleh pawang. Ciri utama dari cerita ini adalah karya dengan fantasi, khayalan yang jauh tinggi melambung, sehingga apabila dibandingkan dengan masa sekarang nyatalah bahwa logikanya sedikit sekali. Akan tetapi cerita ini amat berharga karena hal ini merupakan satu gambaran umum tentang pemikiran, perasaan dan angan-angan sebagian penduduk zaman masa lampau, dan sesuatu yang tidak dapat dipelajari dari ilmu purbakala, dari sejarah-sejarah istana, ataupun dokumen-dokumen lainnya. Yang dipentingkan dalam cerita ialah lukisan-lukisan istana yang megah, putra raja yang gagah dengan pakaian yang bagus, dengan putri raja yang cantik yang tiada bandingannya pada masa itu, peperangan yang dahsyat senjata yang keramat, dan sebagainya.
Misalnya cerita pelipur lara ini sperti kisah Cinderella, Putri duyung, kisah tujuh bidadari, dan masih banyak lagi.

Catatan :
Untuk mengetahui beberapa contoh ceita binatang dan cerita pelipur lara, lihat lampiran pada bab ini.






8.3   Ringkasan
Penggolongan sastra nusantara dapat dibagi atas tiga yaitu penggolongan berdasarkan bentuk : prosa dan puisi, berdasarkan isi : undang-undang, sejarah, dan petunjuk bagi raja, berdasarkan pengaruh asing : sastra melayu asli dan sastra pengaruh Hindu.
Cerita binatang dibedakan tiga tipe yaitu etiological tale (asal usul binatang), fable           (cerita binatang yang mengandung pesan moral) dan beast epic (siklus cerita binatan degan seekor pelaku utamanya).
Cerita pelipur lara merupakan cerita yang indah-indah dengan tujuan menghibur pendengarnya. Biasanya berisi cerita istana yang megah, pengeran yang gagah berani, dan putri yang cantik jelita. Misalnya kisah cinderella, putri duyung, kisah tujuh bidadari, dan lain-lain.

8.4  Evaluasi
1.      Kumpulkan tentang cerita binatang dan pelipur lara yang berkembang di daerah Minangkabau kemudian analisis untuk menentukan bentuk dan jenisnya.
2.      Lihat pengaruh asing dalam folklor Minangkabau.


8.5 Bacaan Anjuran
          Untuk menambah wawasan anda tentang materi bab ini, sebaiknya baca materi pada buku :
Bab 1-2 ,  halaman 11-62 :
Djamaris, Edwar. 1993. Menggali Khazanah SASTRA MELAYU KLASIK (Sastra Indonesia Lama). Jakarta : Balai Pustaka.
Bab 1, halaman 1-59
Fang, Liaw Yock. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.






8.6  Daftar Rujukan
Amir, Adriyetti. Zuriati dan Khairil Anwar. 2006. Pemetaan Sastra Lisan Minangkabau. Padang : Andalas University Press.
Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.
Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta ; Pustaka Utama Grafiti.
Djamaris, Edwar. 1993. Menggali Khazanah SASTRA MELAYU KLASIK (Sastra Indonesia Lama). Jakarta : Balai Pustaka.
Fang, Liaw Yock. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. MUTIARA YANG TERLUPAKAN : Pengantar Studi Sastra Lisan. Jawa Timur : Penerbit HISKI.