PENDEKATAN MUTAKHIR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
Sampai dengan tahun 60-an konsep pembelajaran bahasa
didominasi oleh pandangan yang secara implisit mengatakan bahwa guru adalah
pemilik ilmu sedangkan siswa adalah objek yang menjadi sasaran guru. Penelitian
maupun praktik pembelajaran bahasa waktu itu lebih dicurahkan untuk dapat
mengajarkan bahasa sebaik-baiknya. Hampir tidak pernah disinggung peranan para
siswa dalam menanggapi masukan-masukan yang diberikan.
Pembelajaran yang disajikan yakni:
1. Pembelajaran Bahasa Masyarakat (Community
Language Learning)
2. Respons Fisik Total (Total Physical
Response)
3. Pendekatan Alamiah (The Natural
Approach)
4. Pendekatan Diam (The Silent Way)
5. Sugestopedia (Suggestopedy)
1. 1. Pembelajaran Bahasa Masyarakat
(Community Language Learning)
a. a. Latar Belakang
Pembelajaran Bahasa Masyarakat (PBM) merupakan suatu
ide yang muncul pada tahun 1957, yang dicetuskan oleh Charles A. Curran,
seorang spesialis dalam konseling dan seorang professor psikologi di
Universitas Loyola, Chicago. Pendekatan ini menerapkan psikoterapi dalam bentuk konseling pada para mahasiswanya. Bahasa
yang dipakai dalam eksperimen ini adalah bahasa Prancis, Jerman, Spanyol, dan
kemudian ditanggapi dan dicoba oleh peminat lain, seperti bahasa Jepang, Cina,
Indonesia, dan Swahili. Implikasinya dalam pengajaran kebudayaan pun telah
diterapkan orang. Dari para peminat lain, dilaporkan bahawa hasil yang telah
mereka capai melebihi hasil yang dicapai dengan metode pengajaran yang konvensional.
b. b.Prinsip Dasar
Karena latar belakang pendidikan formal Curran adalah
psikoterapi, dia menyejajarkan pembelajaran bahasa sebagai persoalan antara
seorang ilmu jiwa dengan seorang pasien. Hal ini tercermin dalam dua istilah
yang dipakainya, yakni klien dan konselor untuk menggantikan siswa dan guru.
Curran beranggapan bahwa pada waktu seorang terjun ke dalam suatu arena yang
baru seperti proses belajar bahasa asing, menusia merasa asing, manusia
dihinggapi oleh rasa tidak aman, rasa terancam, rasa cemas, konflik dan berbagai perasaan lain yang secara tiak
disadari menghambat pembelajar untuk mencapai keberhasilan. Dalam istilah lain,
manusia mengembangkan inhibisi (hambatan) dalam pembelajaran. Banyak penelitian
membuktikan bahwa pembelajar akan gagal jika inhibisi masih ada dalam
pembelajaran.
Dalam Pembelajaran Bahasa Masyarakat, tugas utama
seorang konselor adalah untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi segala
perasaan negative para kliennya. Seorang konselor dituntut untuk memiliki sikap
yang fasilitatif, baik dalam menularkan pengetahuannya maupun melayani para
kliennya maju dari satu tahap ke tahap yang lain.
Dalam kaitannya dengan keadaan psikologi para siswa,
Curran mengajukan enam konsep yang diperlukan untuk menumbuhkan pembelajaran.
Enam konsep itu dicakup dalam suatu singkatan, SARD yang merupakan singkatan
dari security (rasa aman), attention-aggression (atensi-agresi), retention-reflection (retensi-refleksi),
dan discrimination (diskriminasi).
Security adalah rasa aman pada diri klien maupun konselor. Melalui berbagai eksperimen yang telah dilakukan, Curran berkesimpulan
bahwa dalam usahanya menggunakan bahasa asing, siswa seolah-olah mencari teman
senasib yang ada di lingkungannya yang memiliki kemampuan yang sama atau lebih
rendah dari dia. Rasa aman dapat ditemukan apabila rekan sekelas beserta
konselornya menunjukkan sikap gotong royong dan memberikan kekpercayaan
kepadanya. Konsep dari rasa aman itu meminta pula konselor untuk bertindak
sebagai orang yang menyebarkan benih yang diharapkan tumbuh pada kliennya.
Atensi-agresi (attention-aggression)
merupakan syarat psikologis kedua yang harus ditumbuhkan. Atensi ? Agresi (aggression)
dimaksudkan agar para siswalah yang berperan aktif dalam proses belajar ini.
Dalam PBM, proses ini tampak sekali tidak hanya
pada peran serta siswa dalam kelas, tetapi juga keputusan siswa untuk
mencari topic dan bahan pelajaran sendiri.
Refleksi (reflection)
dan Retensi (retention) diperlukan
pula dalam proses belajar. Dalam proses refleksi atau bercermin diri itu para
klien melakukan semacam introspeksi untuk mengtahui sampai sejauh mana mereka
telah menguasai bahan dan masalah apa yang timbul dalam kaitan itu. Curran
membagi refleksi menjadi dua macam, yakni refleksi teks dan refleksi
pengalaman. Kedua refleksi ini dilakukan pada tiap akhir kelas.
Dalam refleksi teks, para klien mendengarkan kembali
percakapan yang telah mereka lakukan beberapa menit atau jam sebelumnya untuk
merenungkan dan mengecamkan kembali arti dan makna, serta manfaat kalimat atau
frase yang telah mereka buat. Perenungan dan pengecaman seperti itu, secara
psikologis diperlukan oleh siswa, karena ego mereka akan menuju ke segi
positif, apabila mereka mengetahui bahwa sesungguhnya mereka dapat berbahasa
asing walaupun masih jauh dari sempurna.
Refleksi pengalaman dimaksudkan untuk mengeluarkan
segala permasalahan psikologid yang dialami tiap klien selama kelas sebelumnya
berlangsung. Permasalahan itu dapat berupa keraguan, konflik,
ketidak-menentuan, kemarahan, kecemasan, dan rasa emosional yang lain.
Dalam pertemuan seperti ini konselor dituntut untuk
dapat memberikan bimbingan dan pengarahan psikologis yang akan membawa klien
kea rah yang positif. Dari kedua refleksi ini, akan tercapai retensi yang kan
membantu klien, (a) memahami, menghayati, dan memanfaatkan apa yang telah
dipelajari, dan (b) memanggil kembali (retrieval)
semuai ini pada saat diperlukan.
Unsur terakhir untuk menumbuhkan pembelajaran itu
adalah diskriminasi (discrimination).
Seperti halnya pada anak kecil maupun orang dewasa, pada tahap-tahap
pertama penguasaan suatu bahasa, klien
sering tidak mengindahkan ketepatan ucapan, ungkapan, maupun kalimat. Pada
taraf ini yang diperlukan adalah komunikasi mengenai isi pembicaraan. Meskipun
demikian, pada tahap akhir klien perlu untuk dapat membedakan satu elemen bahasa
dari yang lain secara teliti sehingga tingkat kebahasaan yang dikuasainya itu
tidak banyak mengandung kesalahan lagi.
c. c. Tahap Penguasaan
1. Tahap embrionik (embryonic stage)
merupakan suatu tahap klien sangat bergantung pada konselornya. Pada tahap ini,
rasa ketidak-menentuan klien menghalang-halangi dia untuk memakai bahasa asing
terutama di hadapan konselor dan orang lain yang tak ia kenal. Tugas konselor
adalah menghilangkan atau mengurangi perasaan seperti ii dengan memberikan
bimbingan atau penyuluhan yang layak. Konselor menjelaskan aktivitas apa yang
diharapkan dan memberi waktu pada klien untuk merefleksikan dirinya mengenai
pengalamanya selama itu. Dengan mengemukakan masalah yang mendasari
ketak-menentuan ini dan membaginya bersama rekan lain akan timbul suatu
keberanian untuk memakai bahasa yang sedang dipelajarinya.
2. Tahap asersi diri (self-assertion stage), merupakan tahap
di mana klien telah memperoleh dukungan moral dari rekan senasibnya untuk
bersama-sama menggunakan bahasa asing dan menemukan identitas sebagai penutur
bahasa. Pada tahap ini, klien telah berani secara bertahap melepaskan diri dari
konselornya dan memakai bahasa asing langsung dengan klien-klien lainnya.
3. Tahap kelahiran (birth stage), klien secara bertahap
mulai mengurangi pemakaian bahasa ibunya. Dia telah mulai merasakan
kebiasaannya dalam memakai bahasa asing dan hal ini menimbulkan adanya rasa
aman di antara usic mereka.
4. Pada tahap keempat, klien tidak lagi
banyak diam pada waktu diadakan pertemuan konseling seperti pada tahap pertama,
tetapi lebih aktif pada percakapan-percakapan yang hidup.
5. Tahap terakhir, tahap independen (independent stage), merupakan tahap di
mana klien telah menguasai semua bahan. Pada tahap ini klien memperluas
bahasanya dan mempelajari pada aspek usic dan budaya dari para penutur asli.
d. d. Teknik Pelaksanaan Pembelajaran
Dalam PBM, yang dianjurkan oleh Curran ialah tiap
kelas terdiri atas enam sampai dua belas klien, dan tiap klien mempunyai
seorang konselor. Pengaturan meja dan kursi dibuat bentuk semacam lingkaran.
Konselor berada di belakang klien. Atau mungkin konselor dapat berada di ruang
lain dan dihubungkan dengan klien melalui media elektronik.
Dalam PBM, tidak dipaki suatu buku teks apapun. Para
klien datang untuk memulai kelasnya dengan duduk melingkari meja dan mereka
bebas untuk memilih usic apa saja yang akan mereka bicarakan hari itu. Pada
akhir kelas, rekaman pada proses pembelajaran tersebut diputar kembali untuk
direnungkan dan dihayati.
e. e. Hasil yang Dicapai
Laporan dari para penganut atau pencoba pendekatan ini
menunjukkan bahwa hasil yang dicapai sangat baik atau paling tidak memberikan
harapan yang cerah di masa depan. Eksperimen yang dirintis oleh Curran selama
lebih dari lima belas tahun di Universitas Loyola memberi dasar yang mantap
untuk mengembangkan metode ini. Sejalan dengan metode Curran, Stevick, La Vorge
dan Taylor juga berkesimpulan bahwa metode ini mempunyai masa depan yang dapat
diharapkan.
2. 2. Respons Fisik Total
a. a. Latar
Belakang
Respons Fisik Total (Total Physical Response)
dipelopori oleh James J. Asher. Pada pertengahan tahun ’60-an ia memulai eksperimen pembelajaran Bahasa dengan
memanfaatkan aktivitas fisik (motorik). Respons fisik total berkaitan dengan
teori pelacakan ingatan dalam psikologi. Semakin sering atau semakin intensif
hubungan ingatan (memori) dilacak, semakin kuatlah asosiasi memori itu dan
semakin mudah untuk diingat kembali. Pelacakan kembali
dapat dilakukan secara verba atau dengan cara
menghubungkannya dengan gerakan fisik (gerakan tubuh).
bb. Prinsip-prinsip
Dasar
Respons Fisik Total (RFT) didasari oleh asumsi bahwa
asimilasi dari informasi dan keterampilan dapat ditingkatkan secara signifikan
apabila kita memanfaatkan system sensori kinestetik. Dasar ini dikaitkan dengan
kenyataan bahwa dalam menguasai bahasanya sendiri seorang anak kecil lebih
banyak mendapatkan pajanan ujaran-ujaran yang memerlukan tanggapan fisik
daripada macam ujaran yang lain. RFT memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada para siswa untuk lebih dulu membekali diri dengan keterampilan pemahamam
sampai mereka benar-benar merasa siap untuk berbicara.
Otak dan sistem
saraf manusia untuk menguasai bahasa sudah terprogram secara biologis
dan dalam urutan serta cara tertentu yakni pemahaman sebelum keterampilan
berbicara dengan mengadakan sinkronisasi antara bahasa dengan gerakan tubuh.
c. c.
Teknik Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran RFT idealnya adalah di ruang yang agak besar yang dapat diubah-ubah
bentuknya sesuai dengan situasi yang sedang diperagakan. Untuk mencapai hasil
yang optimal jumlah siswa dibatasi antara 20-25 siswa. Masalah usia siswa tidak
dipermasalahkan dalam RFT. Satu paket
lengkap terdiri atas 53 pelajaran yang masing-masing berlangsung 3 jam. Dengan
demikian, RFT memerlukan waktu sekitar 159 jam. Hampir semua bahan pelajaran disajikan dalam bentuk kalimat perintah
untuk merealisasikan kaitan antara tubuh dengan penguasaan bahasa. Karena
arti dalam RFT disajikan dalam bentuk peragaan fisik, pendekatan ini tidak memerlukan
terjemahan ke bahasa siswa. Pemakaian terjemahan dibutuhkan apabila bahan yang
disajikan berupa abstraksi.
Koreksi terhadap kesalahan siswa hanya diberikan pada saat-saat yang
tepat karena bagi RFT kesalahan adalah hal yang wajar yang selalu dialami.
Proses pengajarannya sendiri dimulai dengan kalimat yang pendek, sederhana, dan
dapat divisualisasikan di kelas. Langkah selanjutnya dengan memperpanjang
kalimat. Pada tiap pelajaran baru selalu diberikan ringkasan dari pelajaran
sebelumnya.
d.d. Hasil
yang Dicapai
Berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan yakni
pembelajaran selama 32 jam untuk bahasa Jerman bagi orang dewasa telah
membuktikan bahwa hasil yang dicapai sama
dengan hasil selama 75 atau 150 jam dengan metode konvensional di
universitas. Hasil satu semester RFT sama dengan dua semester audio-lingual,
padahal jumlah mahasiswanya 350 orang. Proses pengalihan dari pemahaman ke
ujaran, Asher mengatakan bahwa proses ini akan berjalan alamiah.
3. 3. Pendekatan Alamiah
a. a. Latar Belakang
Pendekatan alamiah (Natural Approach, NA), dirintis
pada tahun 1977 oleh Tracy D. Terrell, seorang guru bahasa Spanyol dari
Universitas California. Semula pendekatan ini bersandar pada pendekatan lama,
yakni metode langsung. Tetapi, perkembangannya kemudian makin menjauh dari
metode ini sehingga nama pendekatan alamiah dianggap lebih cocok. Istilah
alamiah didasarkan atas suatu pandangan
bahwa penguasaan (mastery) suatu
bahasa lebih banyak bertumpu pada pemerolehan (acquisition) bahasa itu dalam konteks yang alamiah dan kurang pada
pembelajaran (learning)
aturan-aturan yang secara sadar dipelajari satu per satu.
b. b. Prinsip-prinsip Dasar
Bertitik tolak dari suatu pandangan bahwa tujuan
pembelajaran bahasa adalah untuk membuat siswa dapat berkomunikasi, maka focus
dan cara pembelajaran bahasa harus dialihkan dari apa yang sekarang ini umum
dilakukan. Siswa harus didorong untuk memiliki kompetensi komunikatif yang oleh
Terrel didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk dapat memahami apa yang dikatakan
oleh penutur asli dan dimengerti apabila dia berbicara dengan penutur asli
tanpa kesalahan yang dapat mengganggu arti yang dimaksud.
Definisi ini mempunyai
konsekuensi-konsekuensi tertentu. Bertindak sebagai pendengar, siswa tidak
diharuskan menguasai semua kata dan macam konstruksi gramatik yang diucapkan
oleh penutur asli. Penutur asli adalah sebuah mesin yang mampu mengkreasi
segala macam wujud bahasa selama wujud itu dimungkinkan di dalam system bahasa
yang bersangkutan. Dalam pendekatan alamiah seorang siswa cukup untuk
disyaratkan menguasai sebagian dari bentuk lisan yang didengarnya, karena dalam
komunikasi yang nyata pasti ada hal-hal di luar kebahasan yang membantu dia
memahami ujaran yang didengarnya.
Ketika bertindak sebagai pembicara, seorang siswa pada
taraf permulaan tidak diharapkan pula untuk menguasai, apalagi secara sempurna,
semua bentuk gramatikal, lafal yang baik, kata-kata yang tepat, dsb. Harapan
untuk kebagusan elemen-elemen seperti ini hanyalah angan-angan dan impian sang
guru. Dalam komunikasi yang nyata tak ada seorang penutur asli mana pun yang
akan memperhatikan kemulusan ucapan, kalimat, atau pun intonasi dari seorang
penutur asing. Kecuali dalam kasus-kasus yang khusus, penutur asli akan memperhatikan
isi pembicaraan dan bukan elemen-elemen kebahasaanya.
Ragam yang sering disebut sebagai interlanguage (Selinker 1972), approximative
system (Nemser 1971) atau idiosyncratic
dialect (Corder 1971) ini merupakan ragam yang pasti akan dimiliki oleh siswa
yang sedang belajar bahasa asing. Sikap pendekatan alamiah terhadap soal ini
adalah bahwa kita tidak perlu terlalu merisaukannya. Implikasi dari sikap ini
adalah bahwa dalam pendekatan alamiah koreksi kesalahan siswa tidak dilakukan
dalam waktu proses belajar di kelas melainkan di luar kelas dalam bentuk
pelatihan-pelatihan atau pekerjaan rumah yang khusus dimaksudkan untuk itu.
Penekanan pada komunikasi mau tidak mau memaksa
pendekatan alamiah untuk menyajikan kosakata dalam jumlah yang banyak. Hal ini diperlukan
karena dalam pendekatan alamiah benar-benar dibedakan antara komprehensi dan
produksi. Dalam mengembangkan kemampuan komprehensi ini Terrel mengajukan
beberapa cara, salah satu di antaranya adalah pendekatan respons fisik total (Total Physical Response). Cara lain,
misalnya ialah dengan memanfaatkan nama siswa di kelas dan deskripsi tentang
dia, yang diikuti oleh nama lain beserta deskripsinya pula, semuanya nyata.
Cara lain lagi adalah dengan memakai gambar-gambar yang mirip tetapi tak sama.
Model teoritis yang mendasari pendekatan alamiah
adalah lima hipotesis (Krashen & Terrel 1984: 26-39). Pertama, hipotesis
pemerolehan-pembelajaran (The
Acquistion-Learning). Menurut hipotesis ini penguasaan bahasa oleh orang
dewasa terjadi melalui dua proses yang berbeda, yakni pemerolehan dan
pembelajaran. Pemerolehan adalah formulasi kaidah tata bahasa yang dilakukan di
bawah sadar, sedangakan pembelajaran adalah studi tentang kaidah tata bahasa
yang dilakukan berdasarkan kognisi secara sadar. Kedua, hipotesis urutan
alamiah (The Natural Order Hypothesis).
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa ada urutan-urutan
alamiah dalam pemerolehan bahasa. Dan dari segi tata bahasa, misalnya, ada
pola-pola tata bahasa yang diperoleh awal usic pola-pola lain yang baru
diperoleh kemudian. Ketiga, hipotesis monitor (The Monitor Hypothesis). Krashen dan Terrel mengtakan bahwa proses
pembelajarandi kelas hanya mempunyai kegunaan yang terbatas atau sekunder.
Hasil dari proses seperti ini hanya akan berbentuk suatu monitor,suatu
penyunting, yang fungsinya hanyalah untuk meneliti kalimat-kalimat yang akan
atau telah dibuat pembelajar. Keempat, hipotesis masukan (The Input Hypothesis). Dalam hipotesis yang mula-mula dicetuskan
oleh Krashen pada tahun 1980 di Konferensi Meja Bundar Universitas Georgetown
ini menyatakan bahwa komprehensi lisan dan tulisan merupakan dua unsur penting
yang harus didahulukan. Siswa harus cukup banyak diberi masukan supaya
terkondisikan dengan bahasa barunya. Kemampuan berbicara dan menulis tidak
dapat diajarkan secara langsung, tetapi akan muncul setelah siswa membangun
kompetensi dalam komprehensinya. Hipotesis terakhir adalah hipotesis saringan
afektif (The Affective Filter Hypothesis). Sikap siswa dalam usahanya untuk memperoleh
bahasa juga sangat penting. Kalau sikap itu digambarkan sebagai saringan
afektif, saringan yang ketat akan membuat siswa tidak cukup terbuka untuk
menerima masukan dari lingkungannya. Sebaliknya, saringan yang longgar,yakni
sikap positif akan memperoleh masukan tadi.
Dalam pendekatan alamiah kelonggaran saringan itu
dapat dilaksanakan karena :
1) Siswa tidak diharuskan sudah
berbicara samapai dia betu-betul merasa siap.
2) Siswa boleh menjawab dalam bahasanya
sendiri, bahasa asing yang sedang dipelajarinya, atau campur-campur.
3) Siswa tidak dikoreksi, kecuali bila
proses komunikasi terganggu.
c. c.Teknik Pelaksanaan Pembelajaran
Pendekatan alamiah diciptakan untuk mengembangkan
kemampuan dasar dalam berkomunikasi. Tujuan ini dituangkan dalam wujud
situasi,fungsi,dan topic. Krashen & Terrel memberikan 14 kelompok situasi
yang tentu saja tidak boleh dianggap sebagai jumlah yang tertutup. Karena
konsentrasi pendekatan alamiah adalah pengembangan kemampuan komprehensi,
tekanan pembelajarannya lebih banyak pada penyajian kosakata dalam jumlah yang
banyak dan kurang pada unsur tata bahasa. Demikian pula, lafal tidak diberi
perhatian khusus, kecuali bila mengubah arti.
Seluruh waktu di kelas dimanfaatkan untuk
aktivitas-aktivitas yang menopang pemerolehan dan bukan pembelajaran. Empat
contoh aktivitas semacam ini adalah :
1)
Afektif-humanistik
Dalam hal ini aktivitas afektif-humanistik bertujuan untuk melibatkan
perasaan,pendapat,keinginan,reaksi,ide, dan sebagainya.
2)
Bersifat
memecahkan masalah
Pemecahan masalah disajikan agar siswa dapat memusatkan pada pencarian
jawaban situasional yang benar.
3)
Berbentuk
permainan
Bentuk permainan tidak boleh dianggap iseng atau selingan melainkan suatu
aktivitas yang perlu direncanakan secara teliti untuk membantu pemerolehan.
4)
Berorientasikan
isi masalah
Aktivitas yang berorientasikan pada isi menekankan subjek akademik yang
memang diperlukan oleh siswa.
Di samping pemakaian respons fisik total seperti yang
telah dikatakan di muka, pendekatan alamiah memakai beberapa cara lain untuk
mengembangkan kemampuan komprehensif; salah satu di antaranya adalah pemakaian
situasi di kelas.
d.
d. Hasil yang Dicapai
Meskipun pendekatan alamiah telah dipakai oleh banyak
orang untuk mengajarkan berbagai bahasa seperti bahasa Jerman, Portugis,
Spanyol, dan Inggris, namun klaim mengenai keampuhan pendekatan ini, belum
pernah dinyatakan secara numerical. Satu-satunya pernyataan yang ditemukan
hanya berbunyi seperti ini “Dengan pendekatan alamiah, setelah satu semester
siswa menunjukkan kinerja lebih baik dalam berbicara, menulis, serta
kosakatanya menjadi lebih luas, lebih dapat menstransmisikan banyak informasi,
lebih akurat dalam penggunaan kalimat bila dibandingkan dengan siswa yang
belajar dengan pendekatan langsung”.
4.3. Pendekatan
Diam
a. a. Latar Belakang
Pendekatan lain yang dinamakan pendekatan diam (Silent Way, SW), sebenarnya telah mulai
dirintis pada tahun 1954 oleh Caleb Gattegno. Tetapi, buku pertama yang
membeberkan metode ini baru dterbitkan pada tahun 1963 dengan judul Teaching Foreign Languages in Schools: The Silent
Way. Setelah mengalami berbagai ekspreimen tambahan selama tiga belas
tahun, Gattegno menerbitkan buku lagi, The
Common Sense of Teaching Foreign Languages,yang memerinci dan merevisi
pemikiran dia semula. Pendekatan Diam adalah perkembangan dari pengalaman
Gattegno sebelumnya, dan sebagian dari pendekatan diam mencerminkan pandangan
Gattegno di bidang nonbahasa.
b.Prinsip-prinsip Dasar
Gattegno berkesimpulan bahwa manusia diberkati dengan
kemampuan untuk menggerakkan kekuatan-dalam lebih banyak daripada yang
disadarinya. Penguasaan bahasa tidak dapat dilakukan dengan imitasi penubian
saja. Gattegno menyatakan bahwa pikiran anak-anak dilengkapi dengan kemampuan
untuk bekerja dengan lebih baik dengan mengadakan coba dan ralat dan eksperimen
yang memang direncanakan dengan menunda penilaian dan merevisi simpulan.
Konsekuensi dari pandangan ini ada dua macam. Pertama,
kita harus dapat menumbuhkan kesadaran akan adanya kekuatan ini sehingga yang
dulu dipakai untuk menguasa B1 kini dapat dipakai lagi untuk B2. Cara untuk
mencapai hal ini dilakukan antara lain dengan membiasakan siswa mendengaran
melodi bahasa. Siswa perlu diberi kesempatan sebanyak mungkin untuk
mendengarkan melodi bahasa yang sedang dipelajarinya maupun bahasa-bahasa yang
lain. Berbagai warna yang berkaitan dengan bunyi dan kata juga perlu disajikan.
Konsekuensi kedua adalah bahwa kita tidak boleh
berkonsentrasi pada pengajaran tetapi pada pembelajaran. Doktrin Gattegno
adalah bahwa pembelajaran itu yang utama sedangkan pengajaran itu bersifat
penunjang saja. Jika diterjemahkan ke bahasa sehari-hari, proses penguasaan
bahasa itu harus dilakukan oleh siswa itu sendiri. Merekalah yang harus lebih
banyak aktif di kelas, memanfaatkan paling tidak 90% dari seluruh waktu tatap
muka, sedangkan guru hanya bertindak sebagai pemberi bahan di sana sini di mana
perlu. Dalam kebanyakan hal, guru
diwajibkan untuk lebih banyak diam, kecuali waktu menyajikan bahan baru.
Penanganan kelas dilakukan dengan gerakan tangan, gelengan kepala, senyum, dsb.
Jadi, istilah diam itu berlaku untuk gurunya bukan untuk siswanya.
Karena penguasaan B1 tidak sama dengan B2 maka metode
pembelajarannya tidak mungkin yang alamiah. Secara eksplisit Gattegno
menyerukan agar pendekatan yang dipakai itu menjadi pendekatan yang sangat
artifisial dan sangat terkontrol (Gattegno 1963:12). Cara penyajian bahan,
pemilihan bahan, dan alat peraga yang dipakainya juga sangat tidak
konvensional. Bahan tentu saja disajikan dengan media verbal, tetapi instruksi
kepada siswa, koreksi kesalahan, dan penanganan kelas yang dilakukan tanpa
memakai bahasa.
Berbeda dengan pendekatan alamiah (Natural Approach), pendekatan diam (Silent Way) sangat membatasi jumlah
kosakata yang disajikan. Dalam empat kali tatap muka (yang jumlah jamnya tidak
disebutkan tetapi diperkitakan 4 jam) hanya disajikan sekitar 30 kata yang
terdiri atas satu kata benda, enam kata sifat warna, tiga kata bilangan, dua
artikel, tiga kata kerja, lima kata ganti persona, tiga kata ganti petunjuk,
dan kata keterangan, satu kata depan, dan satu kata sambung.
Pembatasan seperti ini didasarkan suatu pandangan
bahwa siswa harus betil-betul memanfaatkan daya kognisisnya untuk
“mengutak-atik” jumlah kata yang sedikit, tetapi dicampur-campur dalam konstruksi yang berbeda-beda ini.
Mengenai kesalahan yang dibuat siswa, Gattegno tidak
langsung melakukan koreksi. Paling-paling yang dilakukan adalah memberi isyarat
kepada siswa lain untk membantu memberikan respons yang benar.
Untuk membantu siswa menguasai bahan yang diberikan,
Gattegno memakai beberapa alat peraga (1) satu perangkat potongan kayu dengan
warna dan ukuran yang berbeda-beda, (2) beberab Fidel (Fidel Chart), (3) beberan dinding (wall chart), (4) pita dan alat rekaman, film, transparansi, gambar,
(5) tiga teks dan buku cerita, dan (6) tiga antologi.
Pada awal pembelajaran pemakaian potongan kayu (rods) ini dimaksudkan untuk menyajikan
nama benda itu sendiri, konsep tetang ukuran (panjang, pendek), warna (merah,
hijau, dsb.), harak (jauh, dekat), perbandingan (lebih panjang daripada, lebih
dekat daripada), dsb. Tentu saja, tata bahasa disajikan pila dengan mencamurkan
satu konsep dengan yang lain (kayu pendek ini, ambil kayu yang merah, jauh dari
dia, dsb.) praktis, dan (5) kata-kata yang baru diberi garis bawah dan disertai
transkripsi fonetik untuk lafalnya.
c. c. Teknik Pelaksanaan Pembelajaran
Pada hari pertama guru mulai mengajar, dia membawa
satu kotak potongan kayu berwarna seperti digambarkan di atas. Dia mengambil
satu batang yang merah dan pendek sambil mengucapkan, misalnya, layuka. Dengan dua kayu yang satu kata
itu siswa terpaksa menerka-nerka apakah layuka
itu berarti potongan kayu atau warna merah. Setelah guru kemudian mengambil
kayu lain yang berwarna biru dengan ukuran yang lebih panjang lagi dan dia juga
mengucapkan kata layuka maka sadarlah
para siswa bahwa layuka pasti berarti
sebatang kayu, dan bukan warna merah. Dengan kata lain, siswa dipimpin untuk
memakai kognisi untuk mencari arti.
Setelah beberapa kali mendemonstrasikan contoh di
atas, guru memberi isyarat kepada siswa dengan gerakan tangan dan usic untuk
menirukan. Kemudian secara indivisual siswa diminta memberikan kata bagi kayu
yang ditunjukkan. Kata baru untuk biru, rubi,
misalnya, dapat kemudian diberikan dengan cara seperti di atas. Penggabungan
kalimat dapat diperagakan dengan mengangkat kayu biru yang ukurannya
berbeda-beda sambil berkata rubi layuka.
Secara kognitif siswa akan tahu tidak hanya arti frase itu saja, tetapi juga
kaidah tata bahasanya, yakni untuk menyatakan suatu benda yang berwarna kata
sifat warna diletakkan di muka kata bendanya, dsb.
Pada awal pembelajaran hanya tiga kata kerja yang
diberikan. Misalnya, bilam, kaniber, dan kantole yang masing-masing artinya “ambil, berikan, dan letakkan”.
Kata-kata itu satu per satu diberikan dalam konteks peragaan. Misalnya, rubi layuka bilam, sambil guru mengambil
kayu biru. Dengan menambah kata dan “mengutak-atik” urutannya dapat tercipta
cukup banyak kalimat dan frase.
Beberan dinding dipakai untuk melatih ucapan. Dengan
guru menunjukkan huruf-huruf tertentu, yang masing-masing ada warna untuk ucapannya, siswa diminta untuk membuat
kata: r – u – b – i = rubi, dsb.
d. d. Hasil yang Dicapai
Gattegno mengklaim bahwa dalam waktu satu tahun siswa
dapat menguasai bahasa dengan metode lain dperlukan lebih dari empat tahun.
Gattegno juga menganjutkan agar siswa berpindah ke bahasa asing lain seteleh
menguasai satu B2 dengan pendekatan diam ini karena dalam duania modern di mana
manusia bergaul secara bebas dengan manusia lain secara internasional lebih
baik kalau kita menguasai beberapa bahasa asing.
5. Sugestopedia
a. a.
Latar Belakang
Pendekatan terkahir yang disajikan adalah
Sugestopedia, yang mulai dirintis pada musim panas tahun 1975 di Bulgaria
ketika sekelompok peminat di Institut Penelitian Pendidikan di bawah Georgi
Lozanov melakukan penelitian mengenai pengajaran bahasa asing. Pada awal
perumbuhannya sugestopedia hanya dicoba di negara-negara Eropa Timur seperti
Soviet Rusia, Jerman Timur, dan Hongaria. Ketika pada tahun 1970 Sheila
Ostrander dan Lynn Schroeder menerbitkan Psychic
Discoveries behind the Iron Curtain mulailah sugestopedia Lozanov ini
dikenal lebih luas. Sebagai seorang dokter dan psikoterapis. Lozanov tentu saja
memanfaatkan keahlian ilmunya ini untuk mengangani bidang-bidang lain yang
menjadi minatnya.
Sugestopedia telah mempunyai organisasi untuk
mengembangkan pendekatan ini. Di Sofia, Bilgaria, ada Institute of Suggestology dan di Amerika sekelompok peminat telah
mendirikan The Society of
Suggestive-Accelerative Learning and Teaching di bawah pimpinan Donald
Schuster, di lowa State University.
b. b.
Prinsip-prinsip Pengembangan
Sebagai landasan yang paling dasar dan paling bawah
untuk sugestopedia adalah suggestology,
yakni suatu konsep yang berpandagan bahwa manusia dapat diarahkan untuk
melakukan sesuatu dengan diberikan sugesti. Pikiran siswa harus dibuat
tenang, santai, dan terbuka sehingga bahan-bahan yang merangsang saraf
penerimaan dapat dengan mudah diterima dan dipertahankan untuk jangka waktu
yang lama.
Dalam bukunya Lozanov menerapkan sugesti ini tidak
hanya pada proses belajara bahasa, tetapi juga pada bidang-bidang lain termasuk
proses anastesi untuk operasi penyakit. Dalam bisang pembelajaran bahasa
suasana tenang ini dicapai dengan memakai berbagai cara, salah satu diantaranya
adalah yoga. Pada saat sebelum siswa
mulai tiap pelajaran, siswa diminta untuk melakukan yoga yang tujuan utamanya
adalah untuk menghimpun kemampuan yang hipermnestik (hypermnestic abilities) yakni, suatu kemampuan “supermemory” yang
luar biasa. Contoh yang dipakai Lozanov diambil dari seorang bernama K.M., yang
dapat memperkalikan lima pasang angka (28x424, 53x541, 23x344, 63x256, dan
27x473) dalam waktu 16,68 detik. Padahal dengan kalkulator saja diperlukan
waktu 28 detik.
Di samping perlunya menggali hypermnesia ini,
diperlukan suatu atmosfer fisik yang mendukung proses belajar-mengajar.
Atmosfer itu diciptakan dengan pemilihan rauangan yang kondusif terhadap proses
pembelajaran. Ruang belakar Lozanov bukan suatu ruang kelas biasa, tetapi suatu
ruang dengan kursi yang enak diduduki, diatur supaya santai, dan diterangi
denganlampu-lamou yang agak redup. Pada tiap pelajaran yang diberikan pula
latar belakang usic sesuai dengan jiwa bahan yang diberikan. Baik yoga, ruang,
dan usic ini semuanya dimaksudkan untuk menenangkan pikiran siswa sehingga
dapat dengan mudah menerima bahan yang diberikan.
Sugestopedia tidak percaya pada penggunaan
laboratorium bahasa dan tidak pula percaya pada pelatihan-pelatihan struktural
yang ketat. Pelatihan dalam bentuk penibuain yang mekanistik tidak akan
mendatangkan hasil yang baik. Sebaliknya, sugestopedia menekankan penyerapan
mental dair bahan pelajaran yang diterima, untuk kemudian direnungkan,
dicamkan, dan dipakai bersama siswa lain di kelas.
Meskipun pada dasarnya sugestopedia menekankan
pemakaina hanya B2 di kelas, tatapi pada saat-saat yang tepat B1 dipakai pula,
terutama untuk menerangkan dan memberikan arti bagi kata-kata yang baru.
Berbeda dengan pendekatan diam dan pendekatan alamiah, sugestopedia melakukan
koreksi terhadap kesalahan yang dibuat oleh siswa.
Pada umumnya bahan pelajaran diberikan dalam bentuk
dialog yang sangat panjang. Dialog dalam sugestopedia mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: (1) penekanan ada di kosakata da nisi, (2) dasar pembuatan
dialog adalah keadaan atau peristiwa hidup yang nyata, (3) harus secara
emosiaonal relevan, (4) memiliki kegunaan praktis, dan (5) kata-kata yang baru
diberi garis bawah dan disertai transkripsi fonetik untuk lafalnya.
c. c.
Teknik Pelaksanaan Pembelajaran
Untuk kelas intensif, sisiwa sugestopedia bertemu
empat jam sehari, enam kali seminggu, untuk jangka waktu satu bulan. Dengan
demikian, satu paket pelajaran terdiri atas 96 tatap muka. Karena atmosfer kelas
harus dijaga, jumlah siswa yang paling ideal adalah dua belas, lebih baik lagi
kalau enam pria dan enam wanita. Tiap siswa diberi nama dan peran baru. Nama
ini didasarkan pada sistem fonologi B2 dalam bandingannya dengan B1. Kalau
dalam B1 tidak ada bunyi sengau, sedangkan di B2 (bahasa Perancis, misalnya)
ada, nama itu dapat Leon Dupont, dia tinggal di onze rue Napoleon, dan dia
bekerja sebagai macon.
Tiap pertemuan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian
pertama (sesudah hati pertama, tentunya) dipakai untuk mengulang bahan
pelajaran hari sebelumnya. Ini dilakukan dalam bentuk terutama percakapan,
permainan, sketsa, dan acting. Bila
siswa membuat kesalahan, ia dibetulkan untuk nama dan peran yang mengandung
bunyi-bunyi yang sukar juga dilakukan pada saat ini.
Pada bagian kedua, guru menyajikan bahan baru dalam
bentuk dialog tradisional: bahan disajikan dan diperagakan, diikuti dengan
keterangan mengenai kata-kata baru dan tata bahasa. Seperti dikatakan
sebelumnya, dialog ini harus relevan, nyata, menarik dan dipergunakan sesuai
dengan isinya.
Kedua bagian yang pertama ini sebenranya tidak jauh
berbeda dari pendekatan yang lain. Yang betul-betul unik dalam sugestopedia
adalah bagian ketiga yang dinamakan séance.
Seance adalah pertemuan perkuliahan yang tujuannya ialah untuk reinforcement bahan baru pada taraf
bawah sadar. Pada tatap muka ini para siswa duduk-duduk dan bersantai diri
dengan posisi duduk yang dinamakan Savasana.
Kegiatan seance terdiri atas dua
macam, yang aktif dan pasif, dan kegiatan ini berlangsung sekitar satu jam.
Pada kegiatan aktif, siswa melakukan kontrol terhadap pernapasan dengan ritme
sebagai berikut: 2 detik pertama untuk tarik napas, 4 detik keudian untk tahan
napas, dan dua detik terakhir untuk istirahat. Proses ini diulang-ulang selama
sekitar 25 menit.
Pada dua detik tarikan napas guru menyajikan bahan
dalam bentuk B1 untuk memberikan siswa kesempeatan mengerti apa yang akan
disajikan dalam B2. Pada detik ketiga sampai keenam sisiwa meanahan napas dan
gu ru menyajikan bahan dalam B2. Pada saat ini siswa boleh melihat buku teks
dan mengulangi secara mental bahan yang sedang disajikan. Pengulangan mental
merupakan bagian dari inner speech
ini oleh para ilmuwan jiwa Eropa Timur dianggap sangat bermanfaat
mengembangakan hypermnesia. Pada dua
detik terakhir dari siklus pertama ini siswa melakukan istirahat pernapasan
untuk selanjutnya mengulangi siklus kedua, ketiga, dst.
Bagian yang pasif dari seance selanjutnya, yang sering juga disebut bagian konser,
berlangsung sekitar 20-25 menit. Pada saat
ini siswa mendengarkan suatu macam music gaya baroque, yaitu bentuk yang
berasal dari abad ke-17 yang penuh ornamentasi dan improvisasi, efek-efek yang
kontrasif seperti tercermin pada karya Bach dan Handel. Para sisiwa menutup
mata dan memeditasikan bahan yang diperdengarkan. Konser ini berakhir dengan
bunyi seruling yang cepat dan gembira sehingga tegugahlah siswa dari meditasi
mereka masing-masing.
e. d. Hasil yang Dicapai
Dalam kelas-kelas eksperimen maupun kelas-kelas biasa
metode ini dikatakan memberikan hasil yang luar biasa. Dalam hala retensi
kosakata untuk bahasa Jerman, Perancis, Inggris, dan Italia. Lozanov nyatakan
bahwa rata-rata retensinya adalah 93.16%. bahakan setelah diselingi waktu
sampai hampir tiga tahun pun retensi kosakata masih sempurna.
Para penganut Lozanov menghasilkan angka-angka yang
berbeda-beda. Dalam percobaannya dengan
kata-kata Spanyol, Bordon, dan Schuster menemukan bahwa sugestopedia
menghasilkan 2,5 kali dari pendekatan lain. Guru-guru di Lowa sedikit lebih
baik, yakni mereka memerlukan hanya sepertiga dari waktu yang diperlukan oleh
pendekatan lain. Klaim tertinggi dinyatakan oleh Ostrader dan Schruder:
Sugestopedia dapat menghasilkan sampai 50 kali lebih baik dari metode lain.
DAFTAR PUSTAKA
Subyantoro.
2014. Teori Pembelajaran Bahasa Implementasi Psikolinguistik
Pendidikan. Semarang: Unnes Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar